Tanjakan Cangar Nan Ekstrem
Bukit Telikungan Monyet - Cangar |
Tanjakan Cangar selalu menjadi topik hangat pembicaraan para traveller maupun
biker penyuka touring. Kombinasi tanjakan dan tikungan tajam benar-benar
‘menyiksa’ segala jenis kendaraan yang melewatinya, tak peduli sesehat
apapun kondisinya. Skill dan pengalaman pengendara juga sangat berperan
besar ketika melewati tanjakan ekstrem tersebut. Tidak jarang,
kecelakaan akibat kejadian rem blog amat sering kita dengar. Nah, jika ingin
membaca bagaimana sangarnya tanjakan Cangar, monggo dibaca tulisan dari
akun Indri Sudanawati Rozas berikut:
Cangar: 1,5 jam penuh debar
Harusnya saya kembali memejamkan mata, namun tak bisa. Ya sudahlah nulis, sekaligus membuat draft tulisan buat brosur yang saya “janjikan”. Sekalian menanti jam untuk membuat sahur suami, kalau saya paksakan tidur bisa jadi bablas nanti
Cangar. Buat anda bisa jadi nama wilayah ini tak asing. Saya pribadi beberapa kali dengar, tapi baru kemarin sore tahu daerah yang ternyata memang cukup terkenal.
Pemandangannya keren. Ah, saya tak perlu bahas ini, bisa jadi sudah banyak sekali ulasan bertebaran di blog kan. Saya ingin menceritakan sisi lain cangar yang bisa jadi belum pernah ditulis orang.
Jam 7 pagi kami berangkat dari surabaya menuju batu untuk mengantarkan rakha pesantren kilat, subhanallah… muacet cet. Sejak pasuruan. Kami baru bisa istirahat sebentar ketika belok ke arah kanan menuju batu. Sekitar jam 1. Sholat dhuhur, makan sebentar, lalu lanjut perjalanan. Suasana masih padat merayap. Kami baru masuk asrama rakha jam 3an. Telat. Banget. Karena harusnya registrasi dimulai pukul 09.30-11.30. Apa daya tapi kan. Kami datang saat mereka pengarahan, sekitar satu jam kami di sana. Lalu kami pulang saat rakha dan kawan2nya sesi game perkenalan di lapangan.
Wajah sendu rakha membuat saya tak tega. Sekalipun dia sendiri yang meminta ikut acara ini, tapi sepertinya dia melow juga saat menatap mobil kami meninggalkan parkir asramanya.
“Jam 4 dek, kita memutar ya, lewat cangar, gak sanggup kalau lewat jalur tadi, sampai surabaya jam berapa kita.” Kata suami.
“Mas tahu jalurnya?” Kata saya. Rada ragu sebenarnya. Karena sependengaran saya cangar jalurnya berlikuk tiada tara.
“Pernah sekali lewat sana sama teman2 kantor. Lagian ada map di mobil, ada juga googlemaps di hp.” Kata beliau.
“Ya sudahlah, bismillah, tapi keburu kan keluar cangar sebelum petang? Kebayang aja kejebak di hutan malam2 mas.” Jawab saya, masih masygul sebenarnya. Tapi membayangkan muacet luar biasa seperti berangkatnya tak sanggup juga rasanya
Kami pun memasuki wilayah cangar. Banyak muda mudi berhenti di jalan mengabadikan puncak gunung (saya tak tahu, arjuno kali ya) yang bermandikan cahaya senja. Tanpa kabut, tanpa awan menutupinya. Indaaaah sekali pemandangannya.
Raniya cereweeet luar biasa. “Pelan2 abi, nanti numplek kita.” Kami tertawa. Sepanjang jalan kami banyak bercanda.
GUNAKAN SELALU GIGI SATU!
Rambu2 itu entah berapa belas ada di sepanjang jalan. Saya lihat suami pasang gigi dua. Ah, kali gigi satu terlalu lambat, pikir saya.
WAJIB BERHENTI!
Begitu rambu berbunyi, sebuah rest area di arah turun dari cangar arah pacet yang cukup luas ramai terlihat. Sebagian makan bakso dll. Kami lanjut, kami pikir kenapa harus berhenti. Kami kan harus segera keluar dari jalur indah namun mendebarkan ini.
Beberapa mobil yang berpapasan dengan kami berhenti di bahu jalan yang sempit. Berasap. Kami bercanda, “untung mobil kita fit ya…”
Sampai tiba2 di sebuah jalur, sebuah motor mengejar kami.
“Pak berhenti! Kampas rem. Asap!”
Suami panik. Injak rem. Mobil kami tak mau berhenti, masih melaju walau pelan. Lalu kami berhasil berhenti di kiri, namun karena kiri tebing, lalu oleh anak2 muda kami diminta parkir di bahu kanan. Mereka sigap mengambilkan dua batu untuk menahan mobil kami. Hanya satu meter saja antara aspal dan jurang. Wow. Dada saya berdegub kencang. Lalu saya dan suami keluar, saya menggendong rakhil, suami menggandeng raniya.
Saya masih tak paham apa yang terjadi, saya perhatikan anak2 muda ini pakai kaos seragam. Oh, iya kaos tim SAR.
Saya layangkan pandangan ke sekitar.
Di belakang kami, sekitar 20 meter berjejer fortuner dan ertiga. Sepertinya sama kayak kami kejadiannya. Di depan kami, sebelah kiri, ada rest area mini, hanya bisa menampung sekitar 7 mobil sepertinya.
“Matikan mesin, nyalakan lampu hazard, tunggu 30 menit, nanti cek rem, baru mulai berangkat. Ya Pak?” Sapa ramah salah seorang pemuda.
Saya lirik jam di tangan saya, waduh. 17.00. Setengah jam, berarti sebentar lagi petang.
Lalu kami ngobrol ala kadarnya dengan mereka. Dari obrolan itu saya tahu mereka anak2 mapala, yang sedang ditraining untuk SAR. Mereka juga yang beberapa minggu lalu ikut evakuasi mobil tercebur di rolak songo.
Fortuner belakang kami pergi. Si ibu mengulurkan uang saat salaman. Serempak mereka menolak. Eyel2an terjadi. Dan si ibu kalah.
“Kami tak ada yang mau nerima uang Bu, kami niat tulus membantu.” Kata si mas yang ada di depan saya.
Saya benar2 terkesima.
“Elf elf elf, minggir…” begitu perintah kawan2 mereka.
“Emang kenapa kalo elf mas?” Tanya saya.
“Mobil jenis itu yang paling banyak kecelakaan di sini Bu. Karena sebenernya kan memang mereka tak diperuntukkan untuk medan beginian. Remnya cepat panas. Mana muatan berat kan. Baru minggu lalu di atas sana (sambil nunjuk arah atas kami) kami mengevakuasi elf. Tangan sopirnya putus. Tus. Alhamdulillah tapi tak ada korban jiwa. Ngeri Bu.” Ceritanya.
“Awas2, itu pajeronya berasap!!!” Kata si mas. Lalu kawan2 si mas mengejar.
“Stop pak stop!” Kata mereka. Pajero pun ke rest area. Beberapa mobil mengalami hal yang sama. Rest area yang tadinya berisi satu mobil full juga akhirnya.
“Bapak sudah boleh meninggalkan sini, pelan2 tapi. Mari kita cek rem.” kata si mas.
“Gapapa mas kami tunggu sebentar lagi.” Kata suami. Rem depan memang masih hangat sekali saat saya raba.
Tiba2. “Blong blong blong…! Avanza putih. Awaaaaas…! Teriak dari atas. Mobil di belakang avanza putih menekan bel berkali2. Avanza meluncur di atas kami. Andai setir ke kanan akan menabrak kami semua . Saat itu saya hanya ingat rakha, kami harus menjemputnya jumat esok. Apa jadinya jika kami harus tinggal nama? -_-
Qadarullah setir avanza lurus, menabrak mobil bak terbuka pembawa sayur di depannya. Mobil bak terbuka meluncur, tapi masih bisa direm. Lalu avanza oleng ke kiri. Avanza naik tebing, berjalan miring. Semua teriak. Allahu akbar. Lalu avanza menabrak mobil2 di rest area. Terhenti di bawah sana. Padahal banyak orang berkerumun di sana. Teriakan2 tak bisa saya gambarkan seperti apa. Sejurus kemudian suasana kocar kacir.
“Stop2! Semua mobil di atas berhenti! Kecelakaan di sini!” Kata si mas via handy talky.
Alamdulillah akhirnya semua terkendali. Hanya ada korban luka dan mobil penyok2 saja kata masnya -_- saya dan suami tak berani ke sana, hanya menatap dari posisi kami keributan yang terjadi sekitar 100 meter dari kami.
“Alhamdulillah, masih aman itu Bu. Andai kejadian di bawah lagi, pasti habis mereka. Di bawah nanti ada dua tikungan tajam lagi. Kalau blong di sana, sepengalaman kami pasti meninggal.” Kata mas petugas, seragamnya beda. Pas saya tanya ternyata dia adalah perugas kecamatan. Memang tugasnya mengawal jalur maut ini. Dibantu mas2 SAR.
Suasana mencekam. Hari mulai gelap.
“Kapan hari ada, kayak ibu. Si istri lagi hamil. Takut gelap. Belum 10 menit istirahat si istri maksa berangkat. Ya sudah kami gak bisa maksa. Lalu beneran, mereka terjun ke jurang, pas di bawah kita ini. Baru aja jalan padahal.”
“Meninggal?” Kata saya.
“Alhamdulillah masih selamat, masih hidup, kami yang evakuasi, tapi ya entah kemudian gimana kabarnya pas di RS.” Jawab si mas. Saya tambah deg2an.
Tiba2 ada keributan lagi di atas kami. Salah satu isi ertiga ternyata kesurupan. Innalillahi… -_-
“Elf elf elf, berasap. Suruh berhenti!” Teriak atas. Lalu si mas mengejar. Si sopir elf menolak.
Masnya menyalakan HT, “monitor2, barusan elf berasap lewat, siap2 bawah, menyingkir!”
“Aku pergi, elf harus dipaksa berhenti!” Kata petugas kecamatan.” Petugas kecamatan pun menyalakan motor lalu mengejar elf. MasyaAllah. Saya hanya bisa terpana. Tugas mereka2 ini luar biasa.
“Mas harusnya pakai toa ya untuk memberi aba2…” kata suami.
“Iya ya pak, tapi kami gak ada. Ya kalau ada yang menyediakan alhamdulillah. Selama ini ya kami modal suara saja.” Jawab si mas.
Suasana mulai gelap.
“Sampai jam berapa di sini mas?” Tanya saya.
“Sampai sepi Bu. Lha long weekend gini. Ya entah.” Jawabnya.
Seorang SAR bagi2 kotak roti pada kawannya.
“Mas, harusnya ada brosur yang dibagi pas jelang cangar. Kan bisa jadi yang lewat sini kayak kami, gak tau teori. Pede aja mobil baik2 aja. Ternyata rem blong kan bukan masalah mobil jelek atau bukan. Tapi masalah panas atau nggak. Harus ada yang mengedukasi. Kami tadi gak paham kalau yang dimaksud wajib berhenti itu bukan masalah di rest area banyak yang jual makanan. Kami kira promo kayak di jalur pantura. Tapi ternyata urgent sekali rest area tadi, untuk memberi waktu rem adem dulu. Ya kami mana tahu…” kata saya.
“Ya siapa yang buat brosurnya Bu, modal darimana. Kami makan pas piket di sini pun swadaya…” jawab masnya senyum.
“Saya buatkan deh insyaAllah.” Jawab saya.
“Minta nomor masnya aja dek.” Kata suami.
“Gak usah Pak, Bu. Saya punya teman di UINSA. Namanya ikhya. Ibu titipkan ke ikhya saja kalau sudah jadi brosurnya. Kami tunggu ya Bu. Kami siap mendistribusikan brosurnya.”
“Nggih mas, siap.” Kata saya.
Lalu kami pun berpamitan. 18.30an. Satu jam setengah berdiri di tengah hutan. Satu setengah jam penuh pelajaran.
Semoga kisah ini bermanfaat untuk dibagikan. Khususnya yang hendak melewati cangar.
Surabaya, 25 Desember 2017Semoga cerita di atas bisa menjadi bekal ketika ada niatan untuk melewati rute tersebut. Tanjakan Cangar terletak di rute Mojokerto – Batu, Jawa Timur.
https://goo.gl/maps/mcwe6cvjBBN2
Rambu gmb minlbus elf prona dan sejenisnya dilarang melintas kecuali kosong tanpa penumpang
BalasHapus