Tanjakan Emen - Subang Jawa Barat
Beberapa waktu lalu Tanjakan Emen kembali menjadi buah bibir
setelah sebuah bus mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa
penumpangnya tanjakan Emen merupakan satu dari beberapa tanjakan
misterius di Indonesia yang di percaya memiliki misteri yang belum terpecahkan
hingga sekarang korban yang berjatuhan dan penyebab kecelakaan yang
tidak jelas yang membuat pengemudi kendaraan bermotor harus lebih
berwaspada dan berhati-hati saat melintasi tanjakan
ini.
17 Juni 2014 harusnya menjadi hari menyenangkan bagi rombongan siswa SMA
asal Cengkareng ini. Jadwal study tour yang menyelipkan rekreasi ke
pemandian air panas Ciater berubah menjadi kelabu setelah terjadi kecelakaan maut 9 orang tewas
dimana salah satu bus yang membawa rombongan menabrak sebuah mobil mini
bus dan terbalik di tanjakan Emen, sehingga kecelakaan yang merenggut nyawa
rekan-rekan dan Guru ini terpaksa menghentikan kegiatan rombongan kecelakaan ini.
Bukan kali pertama yang terjadi di tanjakan Emen menurut Kepolisian setempat hampir setiap Minggu terjadi kecelakaan baik ringan maupun berat selain kontrol jalanan yang sulit dan berkabut percaya atau tidak konon cerita misteri tanjakan emen yang berkembang dari mulut ke mulut tentang kecelakaan yang sering terjadi pada ruas jalan raya Bandung Subang ini.
Tanjakan Emen bermula. Pada era 1960-an, jalan raya Bandung-Subang masih mencekam saat malam dan belum seramai sekarang. Tersebutlah Emen, sopir pengangkut sayuran yang sering pulang-pergi Bandung-Subang. Kala itu, ia satu-satunya orang yang berani melewati jalan itu saat malam. Sekali waktu, entah karena apa, kecelakaan menimpanya. Ia tewas di tanjakan di sekitar kawasan Ciater. Emen terjebak dalam mobil yang terbalik dan terbakar hidup-hidup.
Masyarakat sekitar percaya arwah Emen bergentayangan setelah persitiwa itu dan kerap mengganggu pengguna jalan yang melintas di sana.
Setelah kematiannya, banyak kejadian rem blong dan mobil yang melaju tak terkendali yang mengakibatkan kecelakaan parah dan memakan korban jiwa. Bagi yang percaya, semua peristiwa itu terjadi karena ulah Emen.
Itulah kenapa banyak pengguna jalan yang membuang sebatang rokok saat melintas di Tanjakan Emen dengan harapan tidak diganggu sang arwah penasaran dan selamat sampai tujuan. Konon, Emen merupakan pecandu rokok.
MOBIL hitam bak terbuka pengangkut sayuran tujuan Suba
Langit senja dikerumuni awan gelap sisa hujan. Genangan air di kubangan menghalangi langkah anak kecil sepulang sekolah.
Menyasar mobil pengangkut sayur sebagai tumpangan bukan tanpa alasan. Melaluinya, saya ingin mengalami langsung seperti apa kiranya berkendara mengangkut cabai, kol, dan hasil bumi lainnya menuju Subang seperti yang Emen lakukan pertengahan 1960-an silam.
Yanto Heryanto adalah nama sopir mobil yang saya tumpangi kali ini. Sejauh yang ia ingat, perjalanan pulang-pergi Bandung-Subang sebagai sopir pengangkut sayur sudah dijalani selama 20 tahun. Duapuluh tahun duduk dibalik kemudi. Wajahnya datar melihat apapun yang terjadi di jalanan. Kecelakaan dengan korban yang kakiya terputus tidak membuatnya terkejut.
Bersamanya ikut seorang kernet setia, Jojo Subarjo. Kecuali 30 menit pertama, hampir sepanjang perjalanan Jojo tertidur pulas dengan kepala bersandar pada kaca samping. Saya duduk di tengah. Ruang kemudi lumayan luas. Saat Yanto mengutak-atik gigi perseneling, tuasnya tidak mengganggu kenyamanan saya. Sementara tas perbekalan saya disimpan di bak belakang bersama sayuran.
Yanto adalah satu di antara banyak “Emen” pada masa sekarang. Ia menjalani tradisi yang sudah berlangsung puluhan tahun. Profesi itu digelutinya dengan tekun dan sabar. Menurut pengakuannya, ia kini berusia 46 tahun. Namun jika diperhatikan, pria asli kelahiran Subang itu masih tampak seperti berusia pertengahan 30-an. Meski badannya sedikit gemuk, gerakannya sangat gesit dan lincah. Rambutnya dipotong pendek hitam mengkilat dan terlihat necis saat dipadukan dengan kaos kuning ketat yang dimasukkan ke dalam celana jins.
Melihat pembawaannya, bisa terlihat bahwa pekerjaan mengangkut sayur sepertinya sangat menyenangkan. Tidak ada beban pikiran berlebih. Tenaga yang dikeluarkan pun tidak banyak. Sekali bertugas hanya butuh waktu 6-8 jam.
"Sopir hanya bertugas mengantar. Urusan bongkar-muat diserahkan pada kuli pasar," ucapnya ketika kami terjebak kemacetan di Gerbang Tol Pasteur.
Katanya, upahnya pun lumayan. Duduk di belakang kemudi lebih dianggapnya sebagai hiburan dan rekreasi. Tak banyak kesulitan ditemui. Kendala terparah hanya seputar mobil mogok dan banyaknya pungutan liar sepanjang rute yang dikutip baik oleh preman jalanan maupun aparat keamanan.
"Sekarang kondisi tubuh sudah melemah. Kena angin sedikit langsung meriang. Diperparah lagi dengan kemacetan yang terkadang bikin stres. Berbeda dengan 20 tahun lalu saat masih muda dan bertenaga," tuturnya.
Melewati tanjakan Emen dengan beban muatan di bak belakang yang melebihi kapasitas yang diperbolehkan sungguh menghkawatirkan. Yanto pun menurunkan kecepatan mobil secara halus.
"Banyak terjadi kecelakaan di sini (Tanjakan Emen) karena sopir salah membuat perkiraan. Mereka mengira tanjakan tidak terlalu curam sehingga tidak menurunkan kecepatan. Itulah kesalahannya. Biasanya perilaku seperti itu dilakukan sopir dari luar daerah atau yang kurang mengenal karakter tanjakan ini," ucapnya.
Sejak keluar dari Pasar Induk Caringin, sebatang rokok hampir selalu Yanto jepit di sela-sela jari tangan kananya. Setiap kali rokok terbakar habis, puntungnya ia lempar ke luar jendela. Pun demikian kala melewati tanjakan Emen.
Tingkahnya itu membuat saya tidak bisa menyimpulkan apakah ia melakukannya hanya karena rokok sudah habis atau karena percaya pada mitos Tanjakan Emen.
Di luar, debu jalanan hinggap. Mengendap di daun-daun.
"Ada yang percaya. Ada yang tidak percaya," ujarnya menjawab tanpa penjelasan lebih lanjut saat ditanya apakah ia termasuk golongan yang pertama atau kedua.
Yanto hanya tersenyum.
Komentar
Posting Komentar